alfa
Publikasi : 14-11-2004
Publikasi : 14-11-2004
KotaSantri.com
- Ah, kapan gundah ini akan berlalu. Mungkin seminggu lagi harus kugenapkan
pilu. Dipenghujung Ramadhan perasaan ini selalu muncul. Sudah 3 tahun selalu
saja pekerjaan yang digeluti ini meminta kesabaran lebih dariku. Aku ingat
sekali ucapan terakhir Isya, isteri tercintaku, sebelum kepergianku bertugas.
"Mas, nanti sepulang dari kerja langsung kau temui aku di terminal ya Mas, tidak capek kan? Soalnya kerabat lain takut keburu pulang." tukasnya.
"Insya Allah, nanti mas hubungi dulu kalau begitu." jawabku miris. Lagi-lagi aku harus bergegas menuju terminal setelah pulang dari tempat kerjaku. Aku bekerja di satu perusahaan Explorasi Minyak Bumi. Dimana disana aku bekerja menurut shift dan aturan jam kerja yang sudah di tentukan dan sangat susah untuk berubah sesuai keinginan.
Sudah 3 tahun ini Iedul Fitri kulalui hanya dengan menyulam rindu dari lepas pantai tempatku bekerja. Selalu saja pekan pertama lebaran kebetulan berpapasan dengan jadwalku bekerja. Begitu kejamkah yang namanya kebetulan? Seketika itu saja kebetulan merenggut senyum-senyum tulus orang-orang yang aku cintai.
"Heh, lu jangan ngelamun aja. Ati-ati 'ntu pipa meledak. Gua juga sama inginnya lebaran di kampung ngumpul sama keluarga, abis gimana lagi. Ude, pasrah aje, lagian pake telepon juga bisa buat ngucap minal aidzin kan?" Ucapan assman dengan logat betawi pekatnya seketika itu membuyarkan pikiranku.
"Ya pak, maaf." jawabku sambil sesekali kutebar senyum yang aku paksakan kepadanya.
Isya, maafkan mas yang hanya bisa bicara 10 menit saja di pagi Iedul Fitri ini lewat telepon. Itupun terputus tanpa salam karena timer yang tak bernurani memutus kerinduan kita. Aku paham sekali kesedihanmu ketika kau menolak kedatangan beberapa sahabat-sahabatmu dan mungkin juga sebagian besar teman lamaku karena aku baru seminggu selepas lebaran bisa menemanimu. Juga terpaksa menunggui rumah hanya bersama jundi kecil kita, tak bisa pergi kemana-mana. Sungkem yang terlambat, hampir-hampir memancing kemarahan orangtuamu itu, maaf, mas memang egois dik.
"Rame juga mas, untung ada acara keliling kampung kemarin. Jadi tidak terlalu sepi. Aku dan Zami bisa jalan-jalan. Eh dia udah bisa lari kemarin itu." ungkapnya suatu kali. Beruntung sekali aku menemukanmu. Tapi binar matanya tidak bisa berbohong. Sekali lagi maafkan mas.
Dari pertama kali kami menikah 3 tahun lalu, belum pernah sekalipun kami mengadakan lawatan formal ketika lebaran tiba. Berkumpul baik bersama keluarganya maupun keluargaku. Selalu saja kata usai yang kami dapati. Semoga Dia memberikan kesabaran lebih kepada kami yang harus kerja ekstra mengejar sanak keluarga sebelum nuansa salaman ini raib ditelan waktu.
Seusai shalat Ied dadakan di landasan terbang yang disulap jadi lapangan tempat shalat Iedul Fitri ini kuteruskan dengan dhuha 2 rakaat. Ingin sekali kutumpahkan semua gundah kebirunya lautan, biar lautan ini berubah menghitam dan kelu berempati kepadaku. "Allah berikanlah jalan keluar dari sisi-Mu yang terbaik untukku dan untuk keluargaku."
"Udah, sekarang kita makan abis itu. Trus apa lagi yah? Pokoknya senang-senang. Jangan ibadah melulu. Kan udah menang, hehehe. Eh jangan lupa ntar malem kita masih ada job sampe lusa. Oiya aku maafin kamu deh, kamu kan banyak salah, hehehe." lagi-lagi tawa renyah Januar rekan kerjaku mencoba menyapa ramah. Sambil menyodorkan kedua telapak lengannya yang hampir tak bersidik karena goresan pipa-pipa.
***
Tidak terasa hampir setahun kulewati. Banyak sekali kejadian manis dan pahit bahkan masam dan asin tak lupa menyumbang citarasa untukku. Sekarang aku sedang menikmati cengkerama dengan-Nya dimalam 29 dalam itikafku. Insya Allah beberapa hari lagi bisa kulewati lebaran bersama sanak keluarga. Allah memang Maha Segalanya. Dia mengabulkan do'aku dengan cara-Nya yang unik. Lebaran kali ini aku tidak lagi ditemani tawa renyah Januar, atau logat betawi kental assmanku yang senangnya membuyarkan lamunan orang. Kini aku dikelilingi orang yang aku sayangi.
Mengapa tiga bulan lalu aku tidak bisa meyakini bahwa ini adalah bukti keadilan-Nya. Mengapa dulu aku merasa lantak dengan semua ini. Padahal dengan itu sekarang aku bisa mempersembahkan hari-hariku yang berharga ini untuk orang-orang yang kucintai. Terutama Isya. Ah, setianya dia mengantar makanan itikafku bersama Nizami yang kini makin lincah. Semuanya terasa nikmat. Alhamdulillah.
"Abi jangan kemana-mana lagi ya, temenin Zami dong keliling sama ummi, nanti banyak yang dateng cali abi. Bial ummi nggak bingung lagi bicala sama meleka." ungkap Nizami merajuk, entah mengapa lidahnya belum juga bisa berucap 'r'.
***
Gelap! tolong nyalakan lampu untukku!. Allah, apa yang terjadi.
"Tolong suster bawa perban yang baru, pendarahannya tidak bisa berhenti... Dokter, sudah basah lagi ini, sepertinya infeksi. Amputa... Ini jarum suntiknya, dan ini gunti... tolong tambahkan obat penenangnya." disayup hanya bisa kudengar suara-suara itu, entahlah siapa membicarakan siapa.
Sebentar aku buka mata. Semuanya sudah mengelilingiku. Ada apa? Ibu, Ayah, Isya yang menggendong Nizami, beberapa tetangga dan keponakan pun ikut berkumpul di kamar tidur entah milik siapa. Semuanya berbau obat. Ini seperti tempat yang pernah aku kenal. Tapi mengapa aku bisa berada disini?
"Tabahkan nak, semuanya itu musibah" suara itu, ibu mertuaku. Eh, ada apa ini? Jangan kalian menangis lagi.
"Mas, Allah sudah mengatur semuanya. Insya Allah kita akan hadapi semuanya bersama." Isya bertutur sambir terisak, memaksakan untuk tetap tersenyum menatapku. Kucoba paksakan untuk terduduk, tapi rasanya sangat sakit sekali. Tidak bisa, maaf.
"Jangan duduk dan jangan bergerak dahulu sampai keadaan saudara pulih." laki-laki berbaju putih-putih yang sedari tadi dikelilingi juga seperti itu angkat bicara.
Setelah semuanya berhenti lalu seseorang berbaju putih-putih berkacamata itu bertutur lagi dengan wibawa yang dia bawa. Bahwa aku kehilangan kaki kananku setelah menyerah dengan berbagai upaya menghentikan infeksi yang menjalar begitu cepat akibat kecelakaan yang terjadi di tempat kerjaku 3 hari yang lalu. Dia, malaikat maut? Bukan. Semuanya berubah kembali gelap. Tolong nyalakan lagi lampu, kalian jangan pergi kemana-mana lagi!
***
Semuanya begitu cepat berubah. Sekarang aku hanya bisa terduduk di atas kursi roda di sudut-sudut ruangan rumah mungil kami. Aku tidak bisa bekerja lagi di pengeboran lepas pantai, dan aku mengundurkan diri dari sana dengan penuh hormat. Untung saja aku masih bisa berkutat dengan design grafis komputer yang tidak memerlukan kaki kananku untuk bekerja. Kinipun aku bisa beraktifitas sederhana di masjid dekat rumah yang sudah tiga tahun ini aku tinggalkan karena kelalaianku.
Jika kita mampu untuk bisa berfikir terbalik, banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari sesuatu yang kadang kita anggap ketidakberuntungan. Tidak tahu harus berapa puluh kali lagi sujud syukur aku lakukan tanpa pijakan kaki kananku ini. Aku berterimakasih sekali kepada-Nya yang telah mengabulkan do'aku selepas dhuha lebaran tahun lalu. Kini aku akan merasakan kembali kebahagiaan Lebaran yang sempat direnggut oleh tempat kerjaku. Kini aku tidak harus meminta maaf lagi kepada Isya dan Nizami. Lebaran ini untukmu, sayang.
: Teruntuk orang-orang yang telah ridho ditinggal lebaran ini, dari seorang muslim yang masih berkutat dengan kerjaan di 1 Syawal.
"Mas, nanti sepulang dari kerja langsung kau temui aku di terminal ya Mas, tidak capek kan? Soalnya kerabat lain takut keburu pulang." tukasnya.
"Insya Allah, nanti mas hubungi dulu kalau begitu." jawabku miris. Lagi-lagi aku harus bergegas menuju terminal setelah pulang dari tempat kerjaku. Aku bekerja di satu perusahaan Explorasi Minyak Bumi. Dimana disana aku bekerja menurut shift dan aturan jam kerja yang sudah di tentukan dan sangat susah untuk berubah sesuai keinginan.
Sudah 3 tahun ini Iedul Fitri kulalui hanya dengan menyulam rindu dari lepas pantai tempatku bekerja. Selalu saja pekan pertama lebaran kebetulan berpapasan dengan jadwalku bekerja. Begitu kejamkah yang namanya kebetulan? Seketika itu saja kebetulan merenggut senyum-senyum tulus orang-orang yang aku cintai.
"Heh, lu jangan ngelamun aja. Ati-ati 'ntu pipa meledak. Gua juga sama inginnya lebaran di kampung ngumpul sama keluarga, abis gimana lagi. Ude, pasrah aje, lagian pake telepon juga bisa buat ngucap minal aidzin kan?" Ucapan assman dengan logat betawi pekatnya seketika itu membuyarkan pikiranku.
"Ya pak, maaf." jawabku sambil sesekali kutebar senyum yang aku paksakan kepadanya.
Isya, maafkan mas yang hanya bisa bicara 10 menit saja di pagi Iedul Fitri ini lewat telepon. Itupun terputus tanpa salam karena timer yang tak bernurani memutus kerinduan kita. Aku paham sekali kesedihanmu ketika kau menolak kedatangan beberapa sahabat-sahabatmu dan mungkin juga sebagian besar teman lamaku karena aku baru seminggu selepas lebaran bisa menemanimu. Juga terpaksa menunggui rumah hanya bersama jundi kecil kita, tak bisa pergi kemana-mana. Sungkem yang terlambat, hampir-hampir memancing kemarahan orangtuamu itu, maaf, mas memang egois dik.
"Rame juga mas, untung ada acara keliling kampung kemarin. Jadi tidak terlalu sepi. Aku dan Zami bisa jalan-jalan. Eh dia udah bisa lari kemarin itu." ungkapnya suatu kali. Beruntung sekali aku menemukanmu. Tapi binar matanya tidak bisa berbohong. Sekali lagi maafkan mas.
Dari pertama kali kami menikah 3 tahun lalu, belum pernah sekalipun kami mengadakan lawatan formal ketika lebaran tiba. Berkumpul baik bersama keluarganya maupun keluargaku. Selalu saja kata usai yang kami dapati. Semoga Dia memberikan kesabaran lebih kepada kami yang harus kerja ekstra mengejar sanak keluarga sebelum nuansa salaman ini raib ditelan waktu.
Seusai shalat Ied dadakan di landasan terbang yang disulap jadi lapangan tempat shalat Iedul Fitri ini kuteruskan dengan dhuha 2 rakaat. Ingin sekali kutumpahkan semua gundah kebirunya lautan, biar lautan ini berubah menghitam dan kelu berempati kepadaku. "Allah berikanlah jalan keluar dari sisi-Mu yang terbaik untukku dan untuk keluargaku."
"Udah, sekarang kita makan abis itu. Trus apa lagi yah? Pokoknya senang-senang. Jangan ibadah melulu. Kan udah menang, hehehe. Eh jangan lupa ntar malem kita masih ada job sampe lusa. Oiya aku maafin kamu deh, kamu kan banyak salah, hehehe." lagi-lagi tawa renyah Januar rekan kerjaku mencoba menyapa ramah. Sambil menyodorkan kedua telapak lengannya yang hampir tak bersidik karena goresan pipa-pipa.
***
Tidak terasa hampir setahun kulewati. Banyak sekali kejadian manis dan pahit bahkan masam dan asin tak lupa menyumbang citarasa untukku. Sekarang aku sedang menikmati cengkerama dengan-Nya dimalam 29 dalam itikafku. Insya Allah beberapa hari lagi bisa kulewati lebaran bersama sanak keluarga. Allah memang Maha Segalanya. Dia mengabulkan do'aku dengan cara-Nya yang unik. Lebaran kali ini aku tidak lagi ditemani tawa renyah Januar, atau logat betawi kental assmanku yang senangnya membuyarkan lamunan orang. Kini aku dikelilingi orang yang aku sayangi.
Mengapa tiga bulan lalu aku tidak bisa meyakini bahwa ini adalah bukti keadilan-Nya. Mengapa dulu aku merasa lantak dengan semua ini. Padahal dengan itu sekarang aku bisa mempersembahkan hari-hariku yang berharga ini untuk orang-orang yang kucintai. Terutama Isya. Ah, setianya dia mengantar makanan itikafku bersama Nizami yang kini makin lincah. Semuanya terasa nikmat. Alhamdulillah.
"Abi jangan kemana-mana lagi ya, temenin Zami dong keliling sama ummi, nanti banyak yang dateng cali abi. Bial ummi nggak bingung lagi bicala sama meleka." ungkap Nizami merajuk, entah mengapa lidahnya belum juga bisa berucap 'r'.
***
Gelap! tolong nyalakan lampu untukku!. Allah, apa yang terjadi.
"Tolong suster bawa perban yang baru, pendarahannya tidak bisa berhenti... Dokter, sudah basah lagi ini, sepertinya infeksi. Amputa... Ini jarum suntiknya, dan ini gunti... tolong tambahkan obat penenangnya." disayup hanya bisa kudengar suara-suara itu, entahlah siapa membicarakan siapa.
Sebentar aku buka mata. Semuanya sudah mengelilingiku. Ada apa? Ibu, Ayah, Isya yang menggendong Nizami, beberapa tetangga dan keponakan pun ikut berkumpul di kamar tidur entah milik siapa. Semuanya berbau obat. Ini seperti tempat yang pernah aku kenal. Tapi mengapa aku bisa berada disini?
"Tabahkan nak, semuanya itu musibah" suara itu, ibu mertuaku. Eh, ada apa ini? Jangan kalian menangis lagi.
"Mas, Allah sudah mengatur semuanya. Insya Allah kita akan hadapi semuanya bersama." Isya bertutur sambir terisak, memaksakan untuk tetap tersenyum menatapku. Kucoba paksakan untuk terduduk, tapi rasanya sangat sakit sekali. Tidak bisa, maaf.
"Jangan duduk dan jangan bergerak dahulu sampai keadaan saudara pulih." laki-laki berbaju putih-putih yang sedari tadi dikelilingi juga seperti itu angkat bicara.
Setelah semuanya berhenti lalu seseorang berbaju putih-putih berkacamata itu bertutur lagi dengan wibawa yang dia bawa. Bahwa aku kehilangan kaki kananku setelah menyerah dengan berbagai upaya menghentikan infeksi yang menjalar begitu cepat akibat kecelakaan yang terjadi di tempat kerjaku 3 hari yang lalu. Dia, malaikat maut? Bukan. Semuanya berubah kembali gelap. Tolong nyalakan lagi lampu, kalian jangan pergi kemana-mana lagi!
***
Semuanya begitu cepat berubah. Sekarang aku hanya bisa terduduk di atas kursi roda di sudut-sudut ruangan rumah mungil kami. Aku tidak bisa bekerja lagi di pengeboran lepas pantai, dan aku mengundurkan diri dari sana dengan penuh hormat. Untung saja aku masih bisa berkutat dengan design grafis komputer yang tidak memerlukan kaki kananku untuk bekerja. Kinipun aku bisa beraktifitas sederhana di masjid dekat rumah yang sudah tiga tahun ini aku tinggalkan karena kelalaianku.
Jika kita mampu untuk bisa berfikir terbalik, banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari sesuatu yang kadang kita anggap ketidakberuntungan. Tidak tahu harus berapa puluh kali lagi sujud syukur aku lakukan tanpa pijakan kaki kananku ini. Aku berterimakasih sekali kepada-Nya yang telah mengabulkan do'aku selepas dhuha lebaran tahun lalu. Kini aku akan merasakan kembali kebahagiaan Lebaran yang sempat direnggut oleh tempat kerjaku. Kini aku tidak harus meminta maaf lagi kepada Isya dan Nizami. Lebaran ini untukmu, sayang.
: Teruntuk orang-orang yang telah ridho ditinggal lebaran ini, dari seorang muslim yang masih berkutat dengan kerjaan di 1 Syawal.
0 komentar:
Posting Komentar