KotaSantri.com
- Ah, kapan gundah ini akan berlalu. Mungkin seminggu lagi harus kugenapkan
pilu. Dipenghujung Ramadhan perasaan ini selalu muncul. Sudah 3 tahun selalu
saja pekerjaan yang digeluti ini meminta kesabaran lebih dariku. Aku ingat
sekali ucapan terakhir Isya, isteri tercintaku, sebelum kepergianku bertugas.
"Mas, nanti sepulang dari kerja langsung kau temui aku di terminal ya
Mas, tidak capek kan? Soalnya kerabat lain takut keburu pulang."
tukasnya.
"Insya Allah, nanti mas hubungi dulu kalau begitu." jawabku
miris. Lagi-lagi aku harus bergegas menuju terminal setelah pulang dari tempat
kerjaku. Aku bekerja di satu perusahaan Explorasi Minyak Bumi. Dimana disana aku
bekerja menurut shift dan aturan jam kerja yang sudah di tentukan dan sangat
susah untuk berubah sesuai keinginan.
Sudah 3 tahun ini Iedul Fitri
kulalui hanya dengan menyulam rindu dari lepas pantai tempatku bekerja. Selalu
saja pekan pertama lebaran kebetulan berpapasan dengan jadwalku bekerja. Begitu
kejamkah yang namanya kebetulan? Seketika itu saja kebetulan merenggut
senyum-senyum tulus orang-orang yang aku cintai.
"Heh, lu jangan
ngelamun aja. Ati-ati 'ntu pipa meledak. Gua juga sama inginnya lebaran di
kampung ngumpul sama keluarga, abis gimana lagi. Ude, pasrah aje, lagian pake
telepon juga bisa buat ngucap minal aidzin kan?" Ucapan assman dengan logat
betawi pekatnya seketika itu membuyarkan pikiranku.
"Ya pak, maaf."
jawabku sambil sesekali kutebar senyum yang aku paksakan kepadanya.
Isya, maafkan mas yang hanya bisa bicara 10 menit saja di pagi Iedul
Fitri ini lewat telepon. Itupun terputus tanpa salam karena timer yang tak
bernurani memutus kerinduan kita. Aku paham sekali kesedihanmu ketika kau
menolak kedatangan beberapa sahabat-sahabatmu dan mungkin juga sebagian besar
teman lamaku karena aku baru seminggu selepas lebaran bisa menemanimu. Juga
terpaksa menunggui rumah hanya bersama jundi kecil kita, tak bisa pergi
kemana-mana. Sungkem yang terlambat, hampir-hampir memancing kemarahan
orangtuamu itu, maaf, mas memang egois dik.
"Rame juga mas, untung ada
acara keliling kampung kemarin. Jadi tidak terlalu sepi. Aku dan Zami bisa
jalan-jalan. Eh dia udah bisa lari kemarin itu." ungkapnya suatu kali. Beruntung
sekali aku menemukanmu. Tapi binar matanya tidak bisa berbohong. Sekali lagi
maafkan mas.
Dari pertama kali kami menikah 3 tahun lalu, belum pernah
sekalipun kami mengadakan lawatan formal ketika lebaran tiba. Berkumpul baik
bersama keluarganya maupun keluargaku. Selalu saja kata usai yang kami dapati.
Semoga Dia memberikan kesabaran lebih kepada kami yang harus kerja ekstra
mengejar sanak keluarga sebelum nuansa salaman ini raib ditelan waktu.
Seusai shalat Ied dadakan di landasan terbang yang disulap jadi lapangan
tempat shalat Iedul Fitri ini kuteruskan dengan dhuha 2 rakaat. Ingin sekali
kutumpahkan semua gundah kebirunya lautan, biar lautan ini berubah menghitam dan
kelu berempati kepadaku. "Allah berikanlah jalan keluar dari sisi-Mu yang
terbaik untukku dan untuk keluargaku."
"Udah, sekarang kita makan abis
itu. Trus apa lagi yah? Pokoknya senang-senang. Jangan ibadah melulu. Kan udah
menang, hehehe. Eh jangan lupa ntar malem kita masih ada job sampe lusa. Oiya
aku maafin kamu deh, kamu kan banyak salah, hehehe." lagi-lagi tawa renyah
Januar rekan kerjaku mencoba menyapa ramah. Sambil menyodorkan kedua telapak
lengannya yang hampir tak bersidik karena goresan pipa-pipa.
***
Tidak terasa hampir setahun kulewati. Banyak sekali kejadian manis dan
pahit bahkan masam dan asin tak lupa menyumbang citarasa untukku. Sekarang aku
sedang menikmati cengkerama dengan-Nya dimalam 29 dalam itikafku. Insya Allah
beberapa hari lagi bisa kulewati lebaran bersama sanak keluarga. Allah memang
Maha Segalanya. Dia mengabulkan do'aku dengan cara-Nya yang unik. Lebaran kali
ini aku tidak lagi ditemani tawa renyah Januar, atau logat betawi kental
assmanku yang senangnya membuyarkan lamunan orang. Kini aku dikelilingi orang
yang aku sayangi.
Mengapa tiga bulan lalu aku tidak bisa meyakini bahwa
ini adalah bukti keadilan-Nya. Mengapa dulu aku merasa lantak dengan semua ini.
Padahal dengan itu sekarang aku bisa mempersembahkan hari-hariku yang berharga
ini untuk orang-orang yang kucintai. Terutama Isya. Ah, setianya dia mengantar
makanan itikafku bersama Nizami yang kini makin lincah. Semuanya terasa nikmat.
Alhamdulillah.
"Abi jangan kemana-mana lagi ya, temenin Zami dong
keliling sama ummi, nanti banyak yang dateng cali abi. Bial ummi nggak bingung
lagi bicala sama meleka." ungkap Nizami merajuk, entah mengapa lidahnya belum
juga bisa berucap 'r'.
***
Gelap! tolong nyalakan lampu
untukku!. Allah, apa yang terjadi.
"Tolong suster bawa perban yang baru,
pendarahannya tidak bisa berhenti... Dokter, sudah basah lagi ini, sepertinya
infeksi. Amputa... Ini jarum suntiknya, dan ini gunti... tolong tambahkan obat
penenangnya." disayup hanya bisa kudengar suara-suara itu, entahlah siapa
membicarakan siapa.
Sebentar aku buka mata. Semuanya sudah
mengelilingiku. Ada apa? Ibu, Ayah, Isya yang menggendong Nizami, beberapa
tetangga dan keponakan pun ikut berkumpul di kamar tidur entah milik siapa.
Semuanya berbau obat. Ini seperti tempat yang pernah aku kenal. Tapi mengapa aku
bisa berada disini?
"Tabahkan nak, semuanya itu musibah" suara itu, ibu
mertuaku. Eh, ada apa ini? Jangan kalian menangis lagi.
"Mas, Allah
sudah mengatur semuanya. Insya Allah kita akan hadapi semuanya bersama." Isya
bertutur sambir terisak, memaksakan untuk tetap tersenyum menatapku. Kucoba
paksakan untuk terduduk, tapi rasanya sangat sakit sekali. Tidak bisa, maaf.
"Jangan duduk dan jangan bergerak dahulu sampai keadaan saudara pulih."
laki-laki berbaju putih-putih yang sedari tadi dikelilingi juga seperti itu
angkat bicara.
Setelah semuanya berhenti lalu seseorang berbaju
putih-putih berkacamata itu bertutur lagi dengan wibawa yang dia bawa. Bahwa aku
kehilangan kaki kananku setelah menyerah dengan berbagai upaya menghentikan
infeksi yang menjalar begitu cepat akibat kecelakaan yang terjadi di tempat
kerjaku 3 hari yang lalu. Dia, malaikat maut? Bukan. Semuanya berubah kembali
gelap. Tolong nyalakan lagi lampu, kalian jangan pergi kemana-mana lagi!
***
Semuanya begitu cepat berubah. Sekarang aku hanya bisa
terduduk di atas kursi roda di sudut-sudut ruangan rumah mungil kami. Aku tidak
bisa bekerja lagi di pengeboran lepas pantai, dan aku mengundurkan diri dari
sana dengan penuh hormat. Untung saja aku masih bisa berkutat dengan design
grafis komputer yang tidak memerlukan kaki kananku untuk bekerja. Kinipun aku
bisa beraktifitas sederhana di masjid dekat rumah yang sudah tiga tahun ini aku
tinggalkan karena kelalaianku.
Jika kita mampu untuk bisa berfikir
terbalik, banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari sesuatu yang kadang kita
anggap ketidakberuntungan. Tidak tahu harus berapa puluh kali lagi sujud syukur
aku lakukan tanpa pijakan kaki kananku ini. Aku berterimakasih sekali kepada-Nya
yang telah mengabulkan do'aku selepas dhuha lebaran tahun lalu. Kini aku akan
merasakan kembali kebahagiaan Lebaran yang sempat direnggut oleh tempat kerjaku.
Kini aku tidak harus meminta maaf lagi kepada Isya dan Nizami. Lebaran ini
untukmu, sayang.
: Teruntuk orang-orang yang telah ridho
ditinggal lebaran ini, dari seorang muslim yang masih berkutat dengan kerjaan di
1 Syawal.