Selamat Datang ! Suatu kehormatan bagi saya atas kunjungan anda di blog kumpulan Dalil Allah ini.jangan lupa untuk mampir lagi di alamat blog www.azkiahan.blogspot.com. Semoga mendapat sesuatu yang bermanfaat di Blog ini

Dalil Berfikir

Memberantas Kejumudan
Islam membebaskan manusia dari belenggu kejumudan dan kendali taklid buta yang menjijikkan. Islam mendidiknya untuk berpikir dan berkehendak secara bebas supaya akalnya sempurna, berpikir dengan benar, dan memiliki kepribadian dan kemanusiaan yang lengkap. Kesempurnaan akal, kebenaran berpikir, dan kemerdekaan berkehendak merupakan dasar kesahihan sebuah akidah, integritas keberagamaan, dan keluhuran moral. Dengan akal yang sempurna, berpikir secara benar dan berkehendak secara bebas seseorang dapat membedakan mana kebenaran yang harus diikuti dan mana kebatilan yang harus dihindari. Rasulullah Saw menjelaskan hal ini dengan sabdanya, “Seseorang tidak akan memperoleh sesuatu yang sebaik akal. Akal membimbing pemiliknya kepada petunjuk dan menghindarkannya dari kesesetan.” (Muttafaq ‘alaih).
Keimanan seseorang tidak akan sempurna dan keberagamaannya tidak akan benar hingga akalnya sempurna lebih dulu. Islam sangat memperhatikan pembinaan pilar ini. Hal itu bisa ditinjau dari beberapa sudut pandang:
Pertama, Dalil adalah Landasan Iman
Islam menjadikan dalil sebagai asas bagi iman yang tulus dan akidah yang benar. Islam menjelaskan bahwa keyakinan atau amal yang tidak didasarkan kepada dalil yang benar bakal tertolak. Islam juga memberi peringatan keras kepada orang-orang yang berbantah-bantahan tentang Allah Swt dan ayat-ayat-Nya tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa dalil dari wahyu yang memberi penerangan.
Allah Swt berfirman:
“Dan barang siapa menyembah tuhan lain selain Allah, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Tuhannya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mu’minun [23]: 117).
“Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan sambil memalingkan lambungnya (dengan congkak) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Dia mendapat kehinaan di dunia dan pada hari Kiamat Kami berikan kepadanya rasa azab neraka yang membakar.” (QS. al-Hajj [22]: 8-9).
Perlu dicatat bahwa frasa burhânukum (bukti kebenaranmu) disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali.
Kedua, Kesesatan Para Pemimpin
Islam telah mengungkap kesesatan para pemimpin agama yang melanggar perjanjian yang mereka buat. Mereka membuat kebohongan terhadap Allah dan menjualbelikan agama dan keyakinan. Mereka memproklamirkan diri berhak membuat syariat dan menentukan halal haram sesuai selera mereka demi mendapatkan keuntungan duniawi dan memuaskan hawa nafsu dengan mengelabui manusia tentang agama mereka.
Allah Swt berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya,’ lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual beli yang mereka lakukan.” (QS. Alu ‘Imran [3]: 187).
“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, ‘Ini dari Allah,’ (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (QS. al-Baqarah [2]: 79).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.” (QS. an-Nahl [16]: 116).
“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah [2]: 42).
Ketiga: Menyeru kepada Kebenaran
Islam menyeru seluruh manusia kepada kalimat kebenaran yang menjadi esensi kebaikan dan direspons oleh setiap orang yang berhati bersih dan berpikiran rasional. Kalimat yang diserukan oleh Islam ini merupakan titik persamaan semua risalah para rasul dan kitab suci yang diturunkan. Allah Swt berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim.’” (QS. Alu ‘Imran [3]: 64).
Keempat, Memperhatikan Langit dan Bumi
Islam memerintahkan setiap orang yang berakal untuk memperhatikan dan merenungkan langit dan bumi beserta semua isinya yang menjadi bukti nyata akan keesaan Allah dalam ulûhiyah dan rubûbiyah-Nya. Manusia harus memerhatikan langit yang membentang di atasnya, bagaimana ia dibangun sehingga sedemikian kokoh dan bagaimana ia dihias sehingga sedemikian indah? Dia juga harus memperhatikan bumi, bagaimana ia dihamparkan, dipancangi gunung-gemunung, dan ditumbuhi tanaman-tanaman yang indah? Mahakarya ini diciptakan semata-mata untuk menjadi peringatan bagi orang yang sadar hatinya dan mengerti.
Allah Swt berfirman, “Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gemunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan?” (QS. al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
Kita harus menyadari bahwa penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan muatan yang bermanfaat bagi manusia, air yang diturunkan dari langit untuk menghidupkan bumi setelah kekeringan, bermacam-macam binatang yang ditebarkan di bumi, perkisaran angin, dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang mengerti yang mengikuti jalan cahaya dan pengetahuan.
Apabila manusia memperhatikan dirinya dan mengetahui dari apa asalnya, bahwa dirinya diciptakan dari setetes air hina yang keluar dari antara tulang punggung dan tulang dada; apabila manusia mengamati bumi yang menjadi sumber kehidupan, dan memperhatikan makanannya, niscaya dia menemukan bahwa Allah Saw berkuasa mencurahkan air yang melimpah dari langit, membelah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Dia menumbuhkan biji-bijian, anggur, sayur-sayuran, zaitun, pohon kurma, kebun-kebun yang rindang, buah-buahan, dan rerumputan. Semua itu untuk kesenangan manusia dan hewan-hewan ternak.
Dengan kontemplasi yang dibarengi perenungan dan pertimbangan akal, manusia akan semakin berilmu dan berpengetahuan. Orang yang meningkat ilmunya, meningkat pula imannya. Orang yang meningkat imannya niscaya akan semakin maju, bermoral, dan berbudaya.
Allah Swt telah menyeru kita untuk memikirkan alam semesta yang luas ini dan memperhatikan sumber daya yang dikandungnya. Dia meminta kita untuk mempelajari berbagai rahasia dan berbagai faktor kehidupan yang ada di sana. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk).” (QS. al-Ankabut [29]: 20). Perlu dicatat di sini bahwa firman Allah “Berjalanlah di bumi” disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali. Allah Swt berfirman, “Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. adz-Dzuriyat [51]: 20).
Kelima, Seruan untuk Menggugah Pikiran
Islam sering memberikan kata-kata motivasi yang menggugah pikiran, mengarahkan pemahaman, dan membangkitkan kepekaan indera dan emosi. Sebagai contoh adalah ketika mengakhiri penjelasan ayat-ayat tentang alam dan hukum, semisal firman Allah Swt:
“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti.” (QS. ar-Rum [30]: 24).
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 3).
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Thaha [20]: 54).
Masih dalam surah yang sama, Thaha, juga terdapat ungkapan serupa, yaitu pada ayat 128, “Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang mendengar.” (QS. Yunus [10]: 67).
“(Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221).
“Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 19).
Ûlu al-albâb, seperti yang terdapat dalam surah ar-Ra‘d di atas, adalah orang-orang yang mempunyai akal, pemahaman, kesadaran, dan pengertian. Mereka disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak enam belas kali.
Keenam, Tinjuan yang Kritis dan Perseptif
Islam menyeru seluruh manusia untuk melihat semua pernyataan yang mereka dengar dengan kritis, sadar, dan perseptif, agar bisa menilai segala sesuatu secara logis dan benar, lalu mengikuti perkataan yang menunjukkan kepada kebenaran dan membimbing kepada kebaikan. Orang-orang yang mendengarkan perkataan seperti itu bakal melangkah di atas jalan petunjuk. Mengapa tidak? Mereka diberi petunjuk oleh Allah Saw karena memiliki akal sehat. Allah Swt berfirman, “... sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang memiliki akal sehat.” (QS. az-Zumar [39]: 17-18).
Ketujuh, Mencela Orang-orang Lalai
Islam mencela orang-orang yang lalai dan malas dan memperingatkan kelalaian dan keberpalingan mereka dari bukti-bukti ayat kauniyah (alam semesta) yang mereka saksikan. Sejatinya mereka melihat bukti-bukti itu setiap saat, namun mereka melalaikan dan berpaling darinya. Ayat-ayat kauniyah memperlihatkan bukti-bukti yang nyata kepada mereka setiap saat, namun mereka seperti kata pepatah, “Anjing bergonggong kafilah berlalu.” Mereka berpaling dari semua tanda-tanda kebesaran Allah. Tidakkah mereka berjalan di muka bumi yang terbentang luas, lalu menggunakan hati untuk memahami dan telinga untuk mendengar?
Ya, sesungguhnya bukanlah mata yang buta, melainkan hati di dalam dada yang merupakan sumber perasaan dan sensasi. Mereka lalai dan berpaling dari bukti-bukti kebesaran Allah di alam semesta. Mereka punya hati, tapi tidak dipergunakan untuk memahami. Mereka punya mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat. Mereka punya telinga, tapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka benar-benar seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang karena kelalaian mereka. Allah Swt, “Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya.” (QS. Yusuf [12]: 105).
Kedelapan, Menghadapi Orang-orang yang Terkungkung Tradisi
Islam mencela orang-orang yang terkungkung tradisi dan berpaling dari kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dan utusan Allah. Mereka bersikeras mengikuti tradisi yang mereka dapati dari nenek moyang dan melakukan kemungkaran dengan mengatasnamakan agama. Mereka berbuat seperti itu karena fanatik terhadap status quo dan taklid buta yang bertentangan dengan logika dan akal sehat. Allah Swt berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).’ Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. al-Maidah [5]: 104).
Apabila dikatakan kepada orang-orang semacam itu, “Ikutilah jalan petunjuk yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami,” walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.
Ketika berbuat keburukan, mereka berulang kali mengatakan bahwa nenek moyang mereka berbuat seperti itu dan mereka diperintahkan untuk melakukannya. Seharusnya mereka tahu bahwa Allah Swt tidak pernah memerintahkan keburukan. Mereka mengatakan sesuatu kepada Allah yang tidak mereka ketahui.
Allah Swt menjelaskan kepada kita akibat yang akan menimpa manusia lantaran bertaklid buta. Allah Swt berfirman:
“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.’” (QS. al-Ahzab [33]: 66-68).
Analisis atas Fenomena Taklid Buta
Taklid buta membawa petaka yang sangat buruk bagi individu dan masyarakat karena akan mematikan talenta berpikir, kreativitas, dan inovasi. Taklid buta merupakan batu sandungan bagi pola pikir yang sehat dan membekukan potensi berpikir dan inovasi seseorang. Dengan taklid buta, potensi seseorang menjadi lamban, stagnan, dan tidak berkembang.
Taklid buta menjadikan seseorang tidak dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang benar dan yang salah. Dia tidak akan bisa membedakan antara tradisi kebaikan dan tradisi keburukan. Tidak hanya itu, dia juga mendorong keluarganya untuk berpaling dari kebenaran dan memusuhi orang-orang yang memperjuangkannya. Dia menyeru mereka untuk merintangi berbagai upaya perbaikan dan mempertahankan keyakinan status quo yang diwariskan dari nenek moyang dengan menggunakan fanatisme golongan.
Keyakinan tersebut didasarkan kepada peninggalan dan tradisi leluhur meski tidak dipahami maknanya. Bahkan, para pewaris menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral sehingga akal sehat yang dapat menentukan keabsahan dan tidaknya pun dikesampingkan.
Taklid buta mendorong mereka kepada fanatisme golongan guna mempertahankan ajaran yang diwariskan. Semua ajaran baru yang bertentangan dengannya atau mengurangi kesakralannya ditentang habis-habisan, meskipun ajaran baru itu menawarkan perbaikan mendasar dan substansial bagi kebaikan manusia.
Cukup banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan fenomena ini, semisal firman Allah Swt tentang penentangan umat-umat terdahulu terhadap dakwah para rasul Allah yang diutus kepada mereka,
“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.’” (QS. az-Zukhruf [43]: 23-24).
Sebagaimana umat-umat yang terdahulu, Suku Quraisy juga menentang seruan Nabi Muhammad Saw. Mereka merasa heran dengan kehadiran pemberi peringatan dari kalangan mereka sendiri. Mereka menuduh Muhammad Saw berbohong dan menggunakan sihir, bahkan mengejeknya secara berlebihan demi membela tuhan-tuhan mereka yang tidak bisa mendatangkan kemudaratan ataupun manfaat. Semua seruan menuju jalan petunjuk mereka tolak mentah-mentah.
Konsekuensi Taklid Buta
Taklid buta dan keyakinan terhadap warisan yang disakralkan—seperti sudah disinggung sebelumnya—sangat membahayakan individu dan masyarakat. Coba perhatikan! Orang-orang Quraisy itu sangat mengenal Rasulullah Saw, bahkan sangat mengenalnya luar dalam. Mereka mengetahui betul kejujuran dan sifat amanahnya, termasuk perilaku dan pergaulannya yang tepuji. Namun demikian, fanatisme golongan yang didasarkan kepada taklid buta dan sakralisasi tradisi nenek moyang menjadikan mereka meresa asing terhadap dakwah Rasulullah Saw, kemudian mengingkari dan mengejeknya.
Fakta di atas semakin mengukuhkan bahwa ajaran dan keyakinan yang didasarkan kepada warisan dan taklid buta, tanpa pengkajian atau penelitian, pada akhirnya bakal disakralkan oleh para pewarisnya. Karena itu mereka tidak mau memikirkan secara sadar dan benar tentang dampak buruk dan kebatilannya. Selanjutnya mereka dihinggapi fanatisme golongan yang membabi buta untuk mempertahankan ajaran tersebut dari segala seruan yang bertentangan dengannya atau mengganggu kesakralannya.
Islam mengajari kita untuk bersikap toleran, tidak fanatik, dan menerima orang lain, karena semua orang sama-sama memiliki hak asasi dalam kehidupan. Islam juga mengajari kita untuk menghargai pendapat orang lain dan berdialog dengan cara yang elok. Islam mempercayai adanya pluralitas pemikiran dan menolak pendapat tunggal. Pada saat yang sama, Islam menyerukan untuk bersikap saling memberi dan menerima, dan melakukan dialog antar budaya. Sebab, Allah Swt menciptakan kita dengan tujuan saling mengenal dan saling memahami satu sama lain guna menciptakan realitas yang lebih baik bagi seluruh umat manusia. Hal itu dapat dicapai dengan cara bertukar ide dan pengalaman, bukan dengan konfrontasi dan konflik.
Bangsa, kelompok, atau masyarakat yang berpegang kepada keyakinan dan ajaran yang diwariskan, yang tidak bersandar kepada pandangan dan pemikiran yang benar, akan menjadi bangsa yang jumud dan terbelakang. Sebab, pegangan mereka tidak didasarkan kepada fondasi yang benar. Mereka hanya bersandar kepada tradisi yang didasarkan kepada taklid buta dan sakralisasi warisan leluhur tanpa menggunakan akal dan pikiran sedikit pun.
Menghilangkan Kekuasaan yang Dipertuhankan
Dengan pilar penting ini, yang titik tolaknya adalah membebaskan manusia dari belenggu kejumudan dan taklid buta serta mendidiknya untuk berpikir dan berkehendak secara bebas, Islam yang hanif berupaya menghilangkan kekuasaan yang dipertuhankan oleh para pemimpin yang sesat dan menyesatkan. Islam mencabut selendang kesucian yang mereka sandang, karena dengan selendang itu mereka mengelabui orang banyak bahwa kemuliaan mereka tidak bisa dikritik atau diganggu gugat. Islam memberlakukan hukum pertanggungjawaban dan balasan kepada mereka seperti yang diberlakukan kepada orang lain.
Demikianlah, Islam telah menjelaskan bahwa hak untuk disembah dan menetapkan hukum hanyalah milik Allah yang Esa. Islam menyeru para tahanan tradisi dan taklid buta untuk membebaskan diri mereka dari belenggu yang memasung akal dan pemahaman dan kotoran yang menutupi telinga dan mata mereka. Islam menetapkan dengan jelas bahwa manusia mempunyai hak untuk berpikir, berkeyakinan, berpendapat, dan berkehendak secara bebas. Kapan pun dan di mana pun, Islam membuka jalan selebar-lebarnya bagi kebebasan berpikir dan berkehendak. Islam sudah mempersiapkan kedudukan yang layak bagi kemanusiaan dan kemuliaannya.
Allah Swt juga telah menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk menjadi hamba penurut seperti kerbau yang dicocok, dan pada saat yang sama Dia tidak memberikan hak kepada siapa pun untuk menguasai akal, pikiran dan kehendak orang lain. Allah menciptakan manusia dalam keadaan merdeka untuk mengendalikan dirinya sendiri dan hanya menjadi hamba bagi Tuhan yang Esa. Allah menjadikannya berpikir dengan akalnya, mencari panduan dengan talenta dan potensi yang diberikan kepadanya, dan berbuat sesuai dengan pilihannya. Allah memandunya dengan cahaya ilmu dalam mengarungi perjalanan kehidupan, membuat keputusan, dan menunaikan pekerjaannya.
Allah Swt memberitahukan dan mengajarkan kepada manusia bahwa dia hanya diperkenankan menyembah kepada Sang Pencipta yang Mahaagung. Keyakinan dan perilakunya harus mengikuti agama yang mempunyai dalil dan bukti.
Pada bagian akhir paparan saya tentang salah satu pilar utama manhaj Islam dalam membebaskan akal dan pikiran ini, saya tidak lupa ingin mengatakan dua substansi penting yang terkadang salah dipahami oleh sebagian orang.
Substansi Pertama
Taklid yang saya maksudkan di sini adalah taklid yang dikecam dan sangat ditentang oleh Islam, seperti yang telah saya jelaskan dampak buruknya bagi individu dan masyarakat. Di penghujung tulisan ini saya ingin menekankan bahwa taklid yang dimaksud di sini adalah taklid buta yang berangkat dari kejumudan dan mempertahankan tradisi lama yang diwariskan tanpa sedikit pun memikirkannya. Tradisi tersebut diikuti secara membabi buta. Semua seruan pembaruan yang tidak sejalan dengannya ditentang habis-habisan, meskipun seruan baru itu membawa kebaikan bagi manusia atau lebih lurus dan benar jalannya.
Taklid yang saya maksud di sini adalah taklid yang membuat seseorang tidak dapat membedakan antara tradisi kebaikan dan tradisi keburukan. Taklid ini menjadikannya tidak dapat membedakan antara mengikuti kebenaran dari para pemimpin yang mendapat petunjuk, ulama yang saleh, para pemikir yang tercerahkan, dan para pemimpin yang reformis dengan mengikuti kebatilan para pemimpin yang sesat, menyesatkan, dan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, atau kebatilan dari orang-orang yang egois dan mementingkan diri sendiri.
Itulah taklid yang dikecam dan sangat ditentang oleh Islam. Adapun taklid kepada ahli kebaikan dan kebenaran, yaitu para pemimpin yang mendapatkan petunjuk, para ulama dan intelektual yang moderat, mantap ilmu pengetahuannya, perilaku saleh sebagai karakternya, yang mendasarkan pemikiran, ilmu, dan ajaran mereka kepada petunjuk Allah Yang Mahaagung dan Sunah Nabi Saw yang suci, yang istikamah di atas jalan terbaik dan dalil yang terang benderang, maka taklid seperti itu tidak termasuk taklid buta. Mengikuti mereka semata karena teladan mereka menyadarkan dan mencerahkan. Sebab, apabila kita tidak tahu, tentu kita harus mengikuti para ulama. Allah Swt berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16]: 43).
Perlu dikatakan di sini bahwa frasa ahl al-dzikr (orang-orang yang mempunyai pengetahuan) disebutkan dalam al-Quran dua kali, sedangkan kata al-dzikr sendiri diulang 19 kali.
Al-‘Irbad bin Sariyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan Sunahku dan Sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk.” (Muttafaq ‘alaih).
Berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunah Rasulullah Saw merupakan cara melindungi diri dari pendapat dan hawa nafsu yang menyesatkan, mencari selamat dari keburukan perpecahan dan pertentangan, dan keluar dari kegelapan kebodohan. Kemudian bertanyalah kepada ulama yang mantap ilmunya, menjaga amanah ilmunya, dan moderat dalam berpikirnya apabila merasa diri kita tidak tahu.
Substansi Kedua
Kebebasan berpikir yang dijadikan Islam sebagai panduan berpikir yang benar dan mercusuar bagi akal untuk menemukan ajaran yang benar dan baik adalah kebebasan yang melepaskan akal dan pikiran kita dari belenggu kejumudan dan penindasan intelektual. Kebebasan tersebut membebaskan akal dari kendali taklid buta dan mengungkap ajaran kebenaran yang disembunyikannya.
Kebebasan yang saya maksud di sini adalah kebebasan yang diserukan oleh Islam, yaitu bahwa manusia senantiasa merdeka selama ia tidak mengganggu orang lain. Perlu diperhatikan bahwa kepemimpinan harus diarahkan untuk membina, memperbaiki, dan mendidik, bukan untuk menghancurkan dan menyesatkan. Itulah kepemimpinan yang komponen ilmiahnya bersumber dari petunjuk dan ajaran Islam, kematangan akal, dan kelurusan berpikir. Ia didasarkan kepada premis dan logika yang benar, dalil dan bukti, serta ditunjang dengan investigasi yang cermat dalam memahami teks-teks Kitab Allah dan Sunah Nabi Saw. Keduanya dijadikan dalil sesuai dengan prinsip-prinsip berpikir.
Orang-orang yang berpengaruh dan berkuasa harus memahami betul al-Qur’an dan Sunah, berangkat dari pemahamannya terhadap dalil-dalil khusus, tema-tema bahasa Arab, dan budaya Islam secara umum. Sebab, apabila sebuah urusan diserahkan kepada orang-orang yang memahami dan menarik kesimpulan sesuai dengan selera dan keinginannya, niscaya keseimbangan salah dan benar akan terganggu, berbagai hakikat akan tersembunyi di tengah-tengah hawa nafsu, karena akal dan pemahaman setiap orang berbeda-beda dan mereka dikendalikan oleh hawa nafsu dan kecenderungan. Sementara itu, orang–orang yang idealis dan tetap dalam keidealisannya jarang sekali, di mana pun dan kapan pun.
Inilah kebebasan berpikir yang dikumandangkan oleh Islam. Islam menjadikannya sebagai mercusuar akal dan panduan berpikir. Kapan kita akan menyadari dan memikirkan hal ini?[]


0 komentar:

Posting Komentar