3 Faidah Agung Menjaga Pandangan
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala Semoga sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Nabi akhir zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Salah satu ajaran mulia dalam islam adalah menundukkan pandangan bahkan ia diperintahkan Allah ‘azza wa jalla kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hambanya, dan ini menunjukkan mulianya apa yang diperintahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman[1], “Hendaklah mereka menundukkan pandanganya, dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS : An Nuur [24] : 30).
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutan menundukkan pandangan dari pada menjaga kemaluan, maka hal ini menunjukkan pentingnya menundukkan pandangan sebagai sarana untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang dapat merasuk ke dalamnya, setelah itu barulah hati itu dapat tumbuh dan berkembang dengan diberi makanan hati yang berupa amal keta’atan sebagaimana badan yang juga butuh makanan agar dapat tumbuh dan berkembang.
Maka pada kesempatan ini kami nukilkan 3 faidah yang sangat agung dari suatu ibadah yang agung, yaitu menundukkan pandangan dari apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah secara ringkas[2],
[1.] Faidah Pertama, dapat merasakan manisnya iman, dimana ia merupakan suatu hal yang lebih baik, lebih lezat dari apa yang ia palingkan matanya dari melihatnya dan yang ia tinggalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka barangsiapa yang meninggalkan sesuatu apapun karena Allah maka Allah ‘azza wa jalla akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia tinggalkan tersebut. Sebagaimana dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya tidaklah sesuatu yang kalian tinggalkan karena Allah ‘azza wa jalla kecuali pasti akan Allah gantikan untukmu dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia tinggalkan”[3].
Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan bahwa,
“Pandangan itu merupakan utusan hati, hatilah yang mengutus pandangan untuk melihat apa yang bisa dikabarkannya dari keindahan apa yang terlihat. Kemudian dari apa yang dilihat inilah muncul rasa rindu, yang kemudian berubah menjadi rasa cinta yang selanjutnya rasa cinta ini dapat berubah menjadi rasa cinta yang bersifat penghambaan, sehingga hatinya menjadi hamba apa yang dia cintai yang semula hanya berawal dari apa yang dia lihat. Sehingga akhirnya mengakibatkan letihnya hati dan hatinya akan menjadi tawanan apa yang ia lihat. Kemudian sang hati yang telah letih ini mengeluhkan keletihannya pada pandagan, namun apa yang dikatakan pandangan tidaklah seperti yang dia harapkan. Dia mengatakan, “Aku hanyalah sebagai utusanmu dan engkaulah yang mengutusku”[4].
Maka semakin bertambahlah sakit yang dirasakan hati dan beginilah salah satu ujian bagi hati yang kosong dari kecintaan kepada Allah dan ikhlas kepadaNya, sehingga dengan ini terlihatlah bagi kita dampak buruk dari tidak menjaga pandangan[5].
Kemudian Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya hati itu pasti bergantung apa yang dicintainya, maka barangsiapa yang tidak menjadikan Allah lah satu-satunya yang dia cintai dan ilaah yang dia sembah sudah barang tentu hatinya akan menyembah/beribadah kepada selainNya”[6].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Yusuf ‘alaihis salam,
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran (khianat[7]) dan kekejian (keinginan untuk berzina[8]). Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas dalam kerta’atannya[9]”. (QS : Yusuf [12] : 24).
Maka lihatlah saudaraku betapa Allah ‘azza wa jalla kaitkan antara menjadi hamba yang ikhlas dalam keta’atannya kepada Allah, dimana salah satu jalannya adalah dengan memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram dilihat[10] dan ini adalah salah satu sebab Nabi Yusuf alaihis salam bisa berpaling dari perzinaan dan pengkhianatan padahal saat itu Beliau adalah seorang yang masih muda, belum menikah, terasing dan seorang budak dari majikan suami orang yang mengajaknya berzina.
[2.] Faidah Kedua, membuat hati menjadi bercahaya dan melahirkan firasat yang benar.
Ibnu Syujaa’ Al Karmani rohimahullah mengatakan,
“Barangsiapa yang menjaga dhohirnya dengan mengikuti sunnah dan batinnya dengan perasaan selalu diawasi Allah ‘azza wa jalla (muroqobah), menahan diri dari mengikuti syahwat, menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang haram dan menjaga diri untuk tidak makan yang haram maka firasatnya tidak akan meleset”.
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menceritakan kaum Nabi Luth alaihis salam dan musibah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada mereka kemudian setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Al Muwassimin[11]”. (QS : Al Hijr [15] : 75).
Al Muwassimin dalam ayat ini ditafsirkan oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah sebagai orang-orang yang penglihatan mereka selamat dari melihat hal-hal yang haram dan keji[12].
Dalam surat An Nuur Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang manfaat yang diperoleh orang-orang yang menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan kemaluannya[13] :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. (QS : Al Nuur [24] : 35).
Setelah membawakan ayat ini Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan,
“Rahasia dari hal ini adalah bahwa balasan dari suatu amal adalah sesuai dengan amalan yang dikerjakan. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari melihat yang haram maka Allah akan gantikan dengan sesuatu yang lebih baik darinya. Maka sebagaimana ia menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan maka demikian jugalah Allah akan penuhi hati dan pandangan orang tersebut dengan cahayaNya sehingga dia akan dapat melihat (dengan hatinya yang telah dipenuhi cahaya) apa yang tidak terlihat oleh orang yang tidak menundukkan pandangannya dari hal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan”.
Kemudian Beliau rohimahullah mengatakan,
“Maka hati itu laksana cermin dan hawa nafsu laksana karat yang mengotorinya, apabila cermin tersebut bersih dari noda karat tersebut maka ia akan dapat terlihat sesuatu sebagai mana hakikatnya”[14].
[3.] Faidah Ketiga, Timbulnya kekuatan, keteguhan dan keberanian hati.
Allah akan memberikan kepada orang yang menjaga pandangannya dari hal yang haram berupa kekuatan pertolonganNya, sebagaimana Allah memberikan cahayaNya kepada orang ini berupa kekuatan hujjah. Maka pada diri orang ini terkumpul dua kekuatan yang menyebabkan setan lari darinya, sebagaimana dikatakan dalam sebuah atsar,
إِنَّ الَّذِيْنَ يُخَالِفُ هَوَاهُ يَفْرَقُ الشَّيْطَانُ مِنْ ظِلِّهِ
“Sesungguhnya setan akan lari dari orang yang menyelisihi hawa nafsunya”[15].
Oleh sebab itu hal ini tidak akan didapatkan orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang berjiwa nista dan rendah. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati berkaitan dengan masa lalu, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman[16]”. (QS : Ali ‘Imran [3] : 138).
Demikian juga firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allahlah kemuliaan itu semuanya”. (QS : Fathiir [35] : 10).
Dengan demikian maka barangsiapa yang ingin mendapatkan kemulian maka hendaklah ia mencarinya dengan taat kepada Allah, dengan al kalamuth thayyib (kata-kata yang baik[17]), dan amal yang sholeh. Demikian juga sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
مَنْ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، وَأَرْضَى النَّاسُ عَنْهُ ، وَمَنْ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Barangsiapa yang mencari ridho Allah walaupun manusia murka maka Allah ridho padanya dan menjadikan manusiapun ridho padanya. Dan barangsiapa yang mencari ridho manusia walaupun Allah murka maka Allah akan murka padanya dan Allah jadikan manusiapun murka padanya”[18].
Dengan demikian kita katakan pula bahwa
“Barangsiapa yang taat kepada Allah maka Allah akan mengasihinya dan melindunginya, tidak akan hina orang yang dikasihi dan dilindungi Robbnya”[19].
Sebagaimana yang diajarkan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dalam salah satu do’a qunut,
إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
“Sesungguhnya tidaklah hina orang yang engkau kasihi dan engkau tolong. Dan tidaklah mulia orang yang engkau musuhi”[20].
Suatu barang tentu menundukkan pandangan adalah suatu yang Allah ridhoi karena ia adalah perintah dari Rob Semesta Alam.
Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi penulis sebagai suatu amal yang diterima Allah ‘Azza wa Jalla dan dapat kita terapkan bersama, Amiin yaa Mujibas Saa’ilin. Semoga sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita shollallahu ‘alaihi was sallam.
Ketika hendak merebahkan diri, Jum’at 2 Sya’ban 1430 H/ 24 Juli 2008 M
Aditya Budiman
[Yang Sangat Membutuhkan Ampunan Robbnya]
[1] Syaikh Abdurahman As Sa’di rohimahullah dalam kitabnya Taisirul Karimir Rahman berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Berikanlah kepada mereka petunjuk (hidayah irsyad, wahai Muhammad, pent.) dan katakan kepada orang-orang yang ada pada diri mereka iman agar mencegah diri mereka kosong dari iman.[lihat Taisirul Karimir Rahman hal. Cetakan Dar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon]. Maka perkataan Beliau ini menunjukkan salah satu tujuan mulia dari disyari’atkannya menundukkan pandangan dari melihat yang diharamkan. Allahu A’lam. [2] Diringkas dari kitab Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah dengan takhrij hadits dari Syaikh Al Albaniy rohimahullah dan tahqiq dari Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 103-107/I, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[3] HR. Ahmad no. 21996 dan dinyatakan shahih oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah dalam tahqiq dan ta’liq Beliau untuk Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 104.
[4] Lihat Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 104-105 dengan perubahan redaksi dari kami.
[5] Idem.
[6] Lihat Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 105.
[7] Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalalain Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, hal. 247 dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrahman Al Mubarokfuri cetakan Darus Salam, Riyadh, KSA, dan cetakan inilah yang kami jadikan pegangan untuk tafsir Jalalain.
[8] Idem.
[9] Idem.
[10] Sehingga dapat memalingkan dirinya dari perbuatan zina dan hal ini dapat terjadi karena Beliau ‘alaihis salam telah merasakan manisnya iman dimana Beliau menerima perintah Allah dengan penuh ketaatan dan pembenaran, dan ini dalah salah satu hakikat dari hati yang salim/selamat yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah dalam kitabnya yang lain Miftah Daris Sa’adah wa Mansyur Walayata Ahlil ‘Ilmi wal Irodah hal. 200/I yang ditahqiq oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah dan dimuraja’ah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rohimahullah cet. Dar Ibnu Affan, Kairo, Mesir.pent.
[11] Dalam Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalalain Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi hal. 275 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan الْمُتَوَسِّمِينَ adalah orang-orang yang memperhatikan peringatan (dari Robbnya,pent.)
[12] Lihat Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 105.
[13] Setelah sebelumnya pada surat yang sama pada ayat 30 Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan mereka orang-orang beriman untuk menundukkan pandangannya, pent.
[14] Lihat Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 106.
[15] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah mengatakan, “(atsar ini) tidaklah benar/shahih jika dikatakan marfu’ hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam. [lihat ta’liq Beliau untuk Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 106].
[16] Maksudnya jika kamu benar-benar orang yang benar dalam imannya. [lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalalain Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi hal. 76]
[17] Kata-kata yang baik itu mencakup dua makna,
Kata-kata yang baik secara dzatnya, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Kata-kata yang baik dilihat dari maksud dan tujuannya. Allahu A’lam, lihat Syarh ‘Arbai’in An Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Tsuroya.
[18] HR. Ibnu Hibban dalam shohihnya no. 275. Hadits ini dinyatakan shahih lighoirih oleh Al Albani.
[19] Lihat Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 107.
[20] HR. Abu Dawud no. , Tirmidzi no. , dan lain-lain dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Tirmidzi demikan juga muridnya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah dalam ta’liqnya untuk Ighotsatul Lahfan fi Mashoyidisy Syaithon hal. 107.
0 komentar:
Posting Komentar